BAB I
PENDAHULUAN
I.I latar Belakang
Etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu dan teknologi yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan llmu pengetahuan dan teknologi. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Melihat fakta yang terjadi saat ini adalah pengabaian masyarakat terhadap etika keilmuan maka dimensi etis berperan penting yang bertujuan untuk memperkokoh eksistensi manusia.
Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap alam, lingkungan dan bahkan terhadap dirinya sendiri, sehingga wajar apabila dari waktu ke waktu selalu ada (discovery) atau penemuan-penemuan baru. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sinilah dimensi etis berperan penting dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Etika ?
2. Apa problematika Ilmu Pengetahuan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian etika
2. Untuk mengatasi problematika yang terjadi
BAB II
ETIKA ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian Etika
Etika adalah ilmu yang kritis. Ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah sistem moralitas. Etika adalah filsafat yang mempertanyakan dasar rasional sistem–sistem moralitas yang ada. Sebagai refleksi kritis, etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani. Pada saat itu masyarakat Yunani sedang mengalami semacam masa pancaroba sosial budaya. Norma-norma dan nilai-nilai tradisional mulai dipertanyakan. Dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul. Etika membantu dalam mencari orientasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada, baik yang tradisional, maupun yang baru yang menawarkan diri sebagai alternatif atau saingan. [1]
Etika juga ilmu yang membahas perbuatan manusia tentang baik dan buruk perbuatannya sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila disebut “akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat kebiasaan. Istilah moral berasal dari bahsa Latin Mores. Tujuan mempelajari etika adalah untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
B. Etika dan moral
Seperti banyak disinggung sebelumnya, ada penyepadanan antara etika dengan moral, norma-norma dan juga etika. Penyepadanan ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya pada masing-masing istilah khususnya moral dan etika terdapat perbedaan yang justru cukup signifikan. Dalam buku Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, K. Bertens seperti dikutip oleh Amril M. menuliskan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Seperti K. Bertans, Loren Bagus juga menuliskan bahwa moral diantaranya menyangkut persoalan kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain. [2]
C. Problematika Ilmu Pengetahuan
Problematika yang terjadi saat ini adalah tingginya apatisme masyarakat terhadap etika keilmuan berkaitan dengan problematika yang terjadi, kurangnya kepekaan terhadap lingkungan sehingga munculah fenomena-fenomena negatif. Misalnya, dalam ilmu pengetahuan yang lalu di mana pada masa sekarang belum sungguh-sungguh terselesaikan, seperti contohnya: bekas-bekas pembungkus keperluan sehari-hari seperti plastik, buangan limbah rumah tangga, semuanya akan mencemari lingkungan. Masalah seperti ini tentu saja akan bersentuhan dengan masyarakat yang menuntut tanggung jawab etis terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini mendorong manusia untuk mencari pemecahannya, dan walaupun sekarang sudah dapat ditemukan cara pangatasannya dengan mengolah dan mendaur ulang (recycle) terhadap sebagian limbah-limbah industri, sehingga keberadaan manusia tidak terganggu lagi oleh sebagian limbah yang membahayakan eksistensi manusia.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini relevansi yang harus diperhatikan menurut Achmad Charris Zubair adalah:
a. Kodrat manusia
b. Martabat manusia
c. Menjaga keseimbangan ekosistem
d. Bersifat universal
e. Bertanggung jawab pada kepentingan umum
f. dan pada kepentingan generasi mendatang
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengembangkan dan memperkokoh manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[3]
1. Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, KANISIUS: Yogyakarta, 1992, hal. 42.
2. M. Amril Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 2002 Cet. Ke 2.
3. Acmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia (Kajian
Filsafat Ilmu), LESFI: Jakarta, 2002, h. 42.
D. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisme Ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu penegetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya usaha kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosia tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. [4]
E. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara social untuk melestarikan dan menjaga alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap Ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M.,(1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut.
1. Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan penelitian terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotetis yang beragam, metodologi yang menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan Negara. [5]
4. Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Bumi Aksara: Jakarta, 2005, h. 84.
5. Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Bumi Aksara: Jakarta, 2005, h. 86.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah karena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
3.2 Saran
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai kaum pelajar untuk menerapkan etika keilmuan pada kehidupan sehari-hari. Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah untuk memperkokoh eksistensi manusia bukan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: LESFI.
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Gazalba, Sid. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafaruddin. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Magnis Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: KANISIUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar